Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
Anggota DPD RI/MPR RI, Ketua DPD RI ke-5 (dok foto :Istimewa).

INSERTRAKYAT.COM – Tujuh puluh lima tahun silam, pada 3 April 1950, Mohammad Natsir berdiri di podium parlemen Indonesia. Dengan keyakinan dan akal sehat, ia menyampaikan pandangan yang menggugah: bahwa arah Indonesia telah melenceng. Kita, katanya, telah tunduk pada keinginan Ratu Belanda untuk menjadi negara serikat, Republik Indonesia Serikat (RIS), demi pengakuan kemerdekaan secara formal.

Mosi Integral Natsir menjadi tonggak korektif. Ia mengingatkan kita pada semangat Sumpah Pemuda 1928: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Natsir menggugah kesadaran bahwa bangsa ini dilahirkan sebagai satu kesatuan, bukan kumpulan negara-negara kecil seperti Indonesia Timur, Dayak, Madura, atau Sumatera.

BACA JUGA :  DPR Serap Aspirasi Publik, Revisi UU TNI Dikaji Secara Terbuka

Sebagai umat Islam; saya melihat tindakan Natsir sejalan dengan strategi damai Nabi Muhammad SAW dalam Perjanjian Hudaibiyah, yang meski terasa merugikan di awal, justru menjadi titik balik kekuatan umat. Perjanjian itu tak ubahnya strategi jangka panjang demi tujuan yang lebih besar.

Sayangnya, semangat kesatuan yang diperjuangkan Natsir kembali terkikis sejak Amandemen UUD 1945 tahun 1999–2002. Saya menyebutnya sebagai jalan sunyi menuju pelapukan identitas konstitusional kita. Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Kaelan, bahkan menyebut bahwa amandemen itu mengubah lebih dari 95% isi pasal-pasal asli dan membubarkan substansi negara Proklamasi.

Buku Menyusun Konstitusi Transisi karya Valina Singka Subekti secara terang menyebut keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam proses amandemen. Nama-nama seperti UNDP, USAID, IFES, NDI, dan IRI disebut aktif memberi pengaruh dalam desain reformasi konstitusi.

BACA JUGA :  Ketua Komisi VIII DPR RI Sidak Dapur Penyedia Makanan Jemaah Haji

Apakah kita masih bisa menutup mata terhadap keterlibatan pihak asing yang mengusung agenda imperialis kapitalis, seperti yang telah dikukuhkan dalam Konferensi Bretton Woods 1944? Bangsa kita harus sadar bahwa kolonialisme tak selalu datang dengan senjata. Kini ia hadir lewat regulasi, investasi, dan infiltrasi sistem politik.

Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) harus naik kelas. Bukan hanya pelengkap formal dalam sistem legislatif, tetapi menjadi bagian nyata dari pembentuk undang-undang sebagai fraksi non-partai di DPR RI.

Saya sedang menyusun disertasi yang mengusulkan agar DPD RI sebagai representasi daerah dan peserta pemilu perseorangan, digabung ke dalam satu kamar DPR RI. Tujuannya jelas: agar legislasi tidak hanya dikuasai oleh partai politik, tetapi juga dibahas secara utuh oleh wakil-wakil rakyat yang benar-benar lahir dari rahim daerah.

BACA JUGA :  Kemendagri Tanggapi Putusan MK: Pemilu Nasional dan Lokal Dipisah Mulai 2029, Apa Motifnya? 

Itulah makna otonomi yang sesungguhnya. Undang-undang yang memaksa seluruh rakyat Indonesia tidak boleh hanya ditentukan oleh segelintir elit partai. DPD RI harus menjadi saluran koreksi sistemik agar konstitusi kita kembali berpijak pada semangat para pendiri bangsa.

Kita harus kembali ke rumah konstitusi yang dirancang untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan global atau asing. Seperti Natsir dulu, kita harus berani berkata: Indonesia harus kembali ke jalan yang benar.

Berkontribusi dalam artikel ini adalah Syamsul Bahri