JAKARTA, INSERTRAKYAT.com — Bahas tambang atau pertambangan di Sulawesi bukan hal baru, kata Sulhan, di Jakarta, Jum’at, (20/6/2025). Lanjutannya, seperti halnya di Sulawesi Tengah.
Lantas, publik menoleh pada rentetan dampak lingkungan dari imbas aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah.
Dua perusahaan tambang masing-masing ialah PT. Trinusa Resources dan PT. Halmahera International Resources beraktivitas tak jauh dari sumber air bersih di wilayah Desa Ganda-Ganda, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara (Morut) tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, sebelumnya tak banyak diketahui publik, bahwa, Muhammad Safri, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dari Dapil Morowali dan Morowali Utara. Ia menyoroti dampak lingkungan dari aktivitas dua perusahaan tersebut.
“Ini keterlaluan. Sumber air tercemar, masyarakat tak punya akses air bersih. Pemerintah harus mencabut izin tambang mereka, bukan sekadar menghentikan sementara,” tegas Safri, Sabtu (8/3/2025), juga seperti dicatat Insertrakyat.com, hari ini.
Salah satu dampak paling menyayat hati rakyat adalah tidak berfungsinya Instalasi Pengolahan Air (IPA) SPAM IKK Petasia yang dibangun pemerintah dengan anggaran sekitar Rp54 miliar sejak tahun 2019 hingga 2021.
IPA tersebut kini tak berguna karena sumber air baku telah tercemar akibat aktivitas tambang raksasa tersebut. Hanya saja, meski begitu, pemerintah dan aparat penegak hukum tak dapat berkutik.
Padahal, fasilitas tersebut dirancang sebagai solusi jangka panjang untuk penyediaan air bersih di Morowali Utara. Namun faktanya, masyarakat tetap mengalami krisis air bersih, justru setelah proyek penyediaan air selesai dibangun.

Muhammad Safri menyatakan bahwa bobot daya rusak lingkungan akibat tambang PT Trinusa dan PT HIR tidak bisa dianggap ringan. Ia menegaskan bahwa pencemaran lingkungan dan air bersih adalah kejahatan lingkungan yang fatal karena menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
“Mencemari air bersih sama dengan menghancurkan kehidupan warga. Ini bukan sekadar kelalaian teknis. Ada pelanggaran serius terhadap regulasi lingkungan dan tata kelola tambang,” ujarnya.
Desakan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Komisi III DPRD Sulteng, Safri menyerukan agar pemerintah bertindak tegas. Ia mendesak agar IUP kedua perusahaan dicabut, bukan hanya diberikan peringatan administratif.
“Jika tak ada tindakan tegas, publik akan melihat negara berpihak pada korporasi, bukan rakyat,” ucapnya.
Desakan pencabutan izin bukan hanya soal efek jera, tapi juga perlindungan ekosistem dan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar lokasi tambang.
Pernyataan Safri memicu reaksi cepat dari aktivis lingkungan. Sejumlah organisasi lokal dan Nasional mulai mengumpulkan data teknis dugaan pencemaran, termasuk dokumentasi visual aliran air yang berubah warna serta keluhan kesehatan dari warga sekitar.
Dia, Sulhan, Aktivis di Jakarta, mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turun langsung ke lokasi untuk melakukan audit lingkungan dan investigasi independen terhadap dua perusahaan tersebut.
Ia juga menyinggung sektor manajemen pengelolaan dan reklamasi pertambangan yang belum transparan. Dirinya lalu khawatir, jika kelak berujung menjadi kasus dugaan korupsi. “Ini menjadi kekhawatiran kami, di sana itu kami nilai manajemen publik belum sepenuhnya transparan,” kuncinya hari ini.
Kejaksaan RI Sikat Kasus Korupsi dana Reklamasi Tambang
Meskipun, terjadi di luar pulau sulawesi, tampaknya korupsi dana Reklamasi bukan informasi opini atau asumsi.
Pada faktanya, Toni Yuswanto, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim merilis Pengungkapan korupsi dana Reklamasi dengan nilai setara 1 unit kapal pesiar prodak asing.
Informasi akurat dari Puspenkum Kejaksaan RI yang diterima langsung Insertrakyat.com. Toni mengutarakan bahwa, Tim penyidik Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) menahan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi pelaksanaan reklamasi tambang batu bara, hari ini, (19/5).
Reklamasi itu melibatkan CV Arjuna di Samarinda dengan potensi Kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir menembus Rp 74 miliar.
Kedua tersangka masing-masing berinisial IEE, Direktur Utama CV Arjuna, dan AMR, Kepala Dinas ESDM Provinsi Kaltim periode 2010–2018. Penahanan dilakukan usai keduanya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
“Kami langsung melakukan penahanan selama 20 hari di Rutan Kelas I Samarinda,” ungkap Toni Yuswanto, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Selasa (19/5/2025). Penahanan didasarkan pada kekhawatiran akan pelarian, penghilangan barang bukti, dan potensi pengulangan tindak pidana.
CV Arjuna diketahui memegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) seluas 1.452 Ha di Kelurahan Sambutan, Kota Samarinda.
Sesuai ketentuan, perusahaan wajib menyusun dan melaksanakan reklamasi, serta menyerahkan jaminan dalam bentuk deposito atau bank garansi.
Namun, dalam kurun 2010–2016, jaminan reklamasi yang seharusnya dikelola negara justru diserahkan kembali oleh Dinas ESDM kepada perusahaan tanpa evaluasi teknis, laporan kemajuan reklamasi, maupun izin dari pejabat berwenang.
Akibatnya, CV Arjuna mencairkan dana tersebut dan menggunakan untuk kepentingan lain. Hingga kini, tidak ada reklamasi yang dilaksanakan, jaminan tidak diperpanjang, dan nilai lingkungan tidak dipulihkan.
“Total kerugian negara terdiri atas kerugian keuangan Rp 13,1 miliar, jaminan reklamasi yang hangus Rp 2,4 miliar, dan kerugian lingkungan mencapai Rp 58,5 miliar,” terang Toni.
Kedua tersangka disangkakan melanggar:
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001,
juncto Pasal 18, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penyidikan masih berlangsung untuk menelusuri kemungkinan adanya aktor lain dan dugaan aliran dana ke pihak-pihak tertentu. (***).