Banda Aceh, InsertrRakyat.com – PT Pembangunan Aceh (PEMA), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di sektor energi, industri, dan lingkungan, kembali menjadi sorotan usai mengklaim akan mengelola 100 ribu hektare hutan untuk proyek bisnis karbon dengan potensi keuntungan hingga Rp3 triliun per tahun. Namun, klaim tersebut langsung menuai kritik tajam dari lembaga masyarakat sipil.
Direktur Eksekutif Forum Jaringan Masyarakat Sipil dan Lingkungan Aceh (FORBINA), Muhammad Nur, secara terbuka menyebut rencana PEMA sebagai ilusi besar yang tidak berdiri di atas dasar realitas kehutanan Aceh. “Jangankan 100 ribu hektare, mencari 5 ribu hektare yang benar-benar bebas dari kepentingan adat, hutan desa, kemitraan, atau izin usaha saja sudah sangat sulit. Hutan Aceh sudah terbagi habis,” tegasnya, Selasa (13/5/2025).
Menurut data yang dihimpun FORBINA, total luas hutan Aceh memang mencapai 3,5 juta hektare. Namun, sebagian besar kawasan tersebut telah terbagi dalam berbagai skema pengelolaan: Kawasan Ekosistem Leuser seluas 2,2 juta ha, hutan adat seluas 105 ribu ha, hutan desa 47 ribu ha, hingga kawasan konservasi, hutan lindung, dan area penggunaan lain (APL) yang telah dimanfaatkan untuk sawit, tambang, hingga proyek energi.
“Lalu dari mana PEMA mau ambil lahan? Sudahkah ada konsultasi dengan DLH, Bappeda, dan pemangku hak adat? Atau ini sekadar narasi sepihak yang belum diverifikasi sama sekali?” kritik Nur.
Nur juga menyebut wacana bisnis karbon bukanlah hal baru. Sejak masa Gubernur Irwandi Yusuf, program sejenis sempat muncul melalui skema REDD+ Norwegia, namun berakhir tanpa hasil konkret. Kini, PEMA kembali melempar wacana serupa tanpa menunjukkan struktur kelembagaan, mitra teknis, atau tenaga ahli yang kredibel.
“Lebih baik belajar dari DLH Aceh yang sudah menjalankan Program Kampung Iklim dan berhasil mendapatkan dana internasional sebesar USD 1,7 juta. Itu program terbukti yang menyentuh masyarakat langsung. PEMA justru menyebar narasi uang triliunan tanpa kejelasan teknis maupun legalitas wilayah,” kata Nur.
Muhammad Nur mengingatkan bahwa narasi bisnis karbon seharusnya dibangun dengan data, peta wilayah, dan kerja sama lintas sektor yang transparan, bukan sekadar janji keuntungan fantastis yang menyesatkan.
“Mengklaim akan mendapatkan Rp3 triliun per tahun tanpa dasar yang jelas adalah bentuk penyesatan publik. Ini bukan narasi ekonomi hijau, ini manipulasi harapan rakyat Aceh. Angin semua,” tutupnya.