SINJAI, INSERTRAKYAT.COM – Desa Tongke-Tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, mempunyai jejak sejarah panjang sejak awal abad ke-20. Awal mulanya tidak langsung dikenal sebagai pusat ekowisata mangrove. Namun dijuluki kampung Toke. Dirangkum dari berbagai sumber terpercaya. Desa ini memiliki catatan formal dalam perjalanan sosial, budaya, dan lingkungan di Bumi Panrita Kitta sebutan Daerah Otonom Sinjai, Sulawesi Selatan.

Awal Mula dan Asal Usul Nama

Pada tahun 1920-an, Balang /Bolong Dg Maketti tercatat sebagai pendiri awal kampung di kawasan Cempae. Ia membangun saoraja (rumah adat) dan membuka lahan pertambakan pertama. Balang Dg Maketti merupakan keturunan Minahan Dg Sutte dan kerabat Arung Baringeng Mapa-Pasang Dg Patappu.

Nama Tongke-Tongke berasal dari kata “Toke”, sebutan masyarakat terhadap pedagang Tionghoa yang kala itu bermukim di Cempae. Seiring waktu, kampung tersebut populer sebagai tempat singgah para toke, hingga kemudian dikenal luas dengan sebutan Tongke-Tongke. Meski awalnya dipengaruhi komunitas Tionghoa, kawasan ini juga dihuni masyarakat Bugis.

Tongke-Tongke di Masa Pendudukan Jepang

Letak geografis yang strategis menjadikan Tongke-Tongke sebagai basis pertahanan Jepang pada era Perang Pasifik. Di kawasan Bentengnge, tentara Jepang mendirikan pos dan merekrut pasukan Heiho. Namun, kekalahan Jepang memaksa mereka mundur ke Manipi.

Tak lama berselang, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bersama pasukan dari Jawa juga sempat bermarkas di Bentengnge sebelum melanjutkan perjalanan menuju Bone, Wajo, dan Luwu.

Pemberontakan DI/TII dan Masa Sulit Warga

Periode 1955–1959 menjadi salah satu fase kelam. Pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan [pemberontak] membawa intimidasi, pembakaran rumah, hingga pengungsian warga. Situasi keamanan kala itu tidak menentu. Namun akhirnya, gerombolan tersebut dapat ditumpas berkat perlawanan rakyat Pangasa dengan dukungan TNI.

Di saat bersamaan, abrasi pantai mulai mengancam perkampungan. Pada pertengahan 1950-an, garis pantai terkikis hingga 15 meter per tahun, merusak tambak dan pemukiman warga.

Perbaikan Pasca Konflik dan Krisis Lingkungan

Tahun 1960–1962, keamanan kembali pulih. Pemerintah kemudian membagi Tongke-Tongke menjadi dua dusun: Dusun Tongke-Tongke dan Dusun Maroanging. Pada 1970, masyarakat bersama pemerintah mendirikan sekolah dasar sebagai tonggak pendidikan di desa.

BACA JUGA :  BREAKING NEWS: Rumah Warga Terbakar di Sinjai Timur, Kerugian Ditaksir Capai Ratusan Juta

Namun, desa kembali menghadapi cobaan. Kemarau panjang menyebabkan krisis pangan, sementara gelombang pasang dan abrasi kian parah pada 1980-an. Inisiatif penyelamatan pantai muncul dari H. Badaruddin bersama tokoh masyarakat. Mereka membangun tanggul dari batu karang yang diambil dari sekitar Pulau Sembilan. Upaya itu gagal, sehingga masyarakat beralih menanam bakau.

Lahirnya Hutan Mangrove Tongke-Tongke

Foto wisata Hutan Magrove Desa Tongke-Tongke. (Foto Istimewa).

Penanaman bakau dimulai sejak 1980-an dan berlangsung hingga 1990-an. Hasilnya terbukti efektif. Saat gempa Flores 1991 memicu gelombang besar, pemukiman Tongke-Tongke relatif aman karena terlindung hutan mangrove.

Upaya pelestarian lingkungan ini mendapat pengakuan nasional. Pada 1995, Presiden Soeharto menyerahkan Penghargaan Kalpataru kepada Muh. Tayyeb, tokoh masyarakat Tongke-Tongke. Kawasan mangrove kemudian berkembang menjadi ekowisata nasional dengan luas mencapai 173,5 hektare, menjadikannya salah satu hutan mangrove terluas dan terpadat di Indonesia.

Tongke-Tongke Menjadi Desa Definitif

Awalnya, Tongke-Tongke hanya berstatus lingkungan dalam Kelurahan Samataring. Namun, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, desa ini ditetapkan sebagai Desa Persiapan pada 2002 dengan H. Alimuddin sebagai kepala sementara.

Pemilihan kepala desa pertama berlangsung 8–11 Februari 2003, menghasilkan Muhammad Nasri Dg Lanna sebagai kepala desa definitif yang dilantik 21 Maret 2003.

Kini Desa Tongke-Tongke terbagi menjadi lima dusun: Babana (pusat pemerintahan desa), Maronging, Baccara, Bentengnge, dan Cempae.

Kades Tongke-Tongke dari Masa ke Masa

Sejak berdiri, kepemimpinan Desa Tongke-Tongke dipegang oleh para tokoh kharismatik.

  • Muhammad Nasri (2003–2008, definitif)
  • Adri Nur (2008–2010, Plt)
  • H. Abdul Kadir (2010–2015, definitif)
  • Drs. Rusdi, M.Si (2016, Plt)
  • Sirajuddin (2017–2022, definitif)
  • Akbar, S.Sos., M.Si (2023, Pj)
  • Sirajuddin (2023–2029, definitif)

Singkatnya, Desa Tongke-Tongke terus memupuk tumbuhnya kearifan lokal, seperti Gotong Royong dan Tenggang Rasa termasuk pesta Adat Marimpa Salo.

BACA JUGA :  BUMDES Sejahtera Desa Kalobba Terima Tour Edukatif BUMDES Cendana Bersatu

Festival Tongke-Tongke, Meriah dan Spektakuler

Festival Tongke-Tongke 2024 tercatat telah digelar pertama kali di Kabupaten Sinjai. Acara itu juga disebut Pesta Adat Marimpaq Salo. Saat acara berlangsung nampak meriah dan Spektakuler.

Kades Tongke-Tongke, Sirajuddin mengatakan kegiatan ini diinisiasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sebagai wadah pelestarian budaya, promosi pariwisata, serta penguatan solidaritas masyarakat.

Kegiatan berlangsung selama lima hari, dimulai 9–14 Oktober 2024, tersebar di beberapa titik wisata, seperti Desa Sanjai, Pantai Mallenreng, pesisir Hubat Takkalalla, hingga kawasan Hutan Mangrove Tongke-Tongke.

Hari pertama diawali lomba Barzanji dan Gendrang tradisional, lalu dilanjutkan tari kreasi. Hari kedua menampilkan pesta adat Ma’rimpa Salo, tradisi turun-temurun antara Desa Sanjai dan Desa Bua. Hari ketiga dipusatkan di Pantai Mallenreng dengan penyuluhan sadar wisata, lomba layang-layang, serta lomba perahu kano yang melibatkan masyarakat dan OPD.

Pada hari keempat, aksi penanaman mangrove. Kegiatan ini melibatkan unsur pemerintah, TNI-Polri, mahasiswa UNM, hingga pelajar. Tujuannya menekan laju abrasi pesisir.

Hari kelima dipusatkan di Hutan Mangrove Tongke-Tongke dengan lomba semaphore, photobooth, serta kontes fotografi pariwisata. Acara ditutup dengan gerakan Sapta Pesona dan penyerahan fasilitas kebersihan kepada Pokdarwis setempat.

Festival ini menarik ratusan pengunjung dari dalam dan luar Sinjai. Kadisparbud waktu itu dijabat oleh Tamzil Binawan. Dirinya menegaskan, bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi ikon tahunan Kabupaten Sinjai, memperkuat identitas budaya, sekaligus mendongkrak sektor pariwisata.

Keamanan Lingkungan Kontras Dengan Gaya Kepemimpinan Kades Sirajuddin

Sejak berdirinya Mapolsek Sinjai Timur, keamanan lingkungan di Desa Tongke-Tongke terbilang cukup kontras dengan gaya kepemimpinan Sirajuddin yang selalu mengedepankan pembinaan dan pemberdayaan. Ia dikenal luas dengan ciri khas Karismatik dan mampu merajut persatuan. Berbicara sinergitas, Pemerintah Desa Tongke-Tongke tak kalah dari 67 desa di Sinjai, yang tersebar di 9 kecamatan termasuk Kecamatan Pulau Sembilan.

“Alhamdulilah keamanan lingkungan tetap aman dan kondusif, Babinsa dan Bhabinkamtibmas aktif memberikan edukasi dan Imbauan kepada masyarakat, baik melalui kegiatan Patroli KRYD (Kegiatan Rutin Yang Ditingkatkan) maupun pada setiap kegiatan Musyawarah desa,” kata Kades Sirajuddin. Saat ini September 2025, Mapolsek Sinjai Timur dipimpin oleh Kapolsek, Iptu Mukhsin Sirajuddin, S.Sos., M.Si.

BACA JUGA :  Pelatihan Abon Ikan Dorong Kemandirian Ekonomi Warga Desa Tongke-Tongke

Berdasarkan data statistik yang dilihat Insertrakyat.com, Selasa, (9/9/2025). Penduduk Desa Tongke-Tongke berkembang pesat dengan jumlah penduduk laki-laki 2.229 jiwa dan perempuan 2.234 jiwa. Dari jumlah tersebut tercatat dalam kategori produk pemilih tetap sebanyak 3.303–1.628 jiwa.

Pertumbuhan Ekonomi BUMDES

Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Sipatokkong, Desa Tongke-Tongke, tercatat secara resmi menyalurkan hasil produksi perdana ayam petelur kepada pengusaha dan warga setempat, Rabu, 8 Agustus 2025.

Pengantaran awal ini menjadi langkah strategis Bumdes dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, khususnya ketersediaan telur segar di wilayah desa.

Direktur Bumdes Sipatokkong, Firdaus, menegaskan bahwa pengantaran kali ini menjadi momen penting. “Ini merupakan distribusi perdana di kawasan Tongke-Tongke,” ungkapnya.

Menurutnya, kehadiran unit usaha ayam petelur tidak hanya untuk memenuhi konsumsi harian warga, namun juga diharapkan menjadi sumber pendapatan baru bagi desa. Dengan demikian, usaha ini dapat berkelanjutan serta membuka peluang peningkatan ekonomi masyarakat.

Keberhasilan itu menjadi bukti bahwa Bumdes Sipatokkong telah menghadirkan program bermanfaat yang dekat dengan kebutuhan warga. Ke depan, distribusi telur diharapkan semakin luas dan mampu menjadi salah satu ikon usaha desa Tongke-Tongke.

Desa Wisata dan Konservasi

Kini, Tongke-Tongke dapat dilihat sebagai pusat permukiman nelayan, dan ikon ekowisata nasional. Menariknya, Hutan Mangrove Tongke-Tongke berfungsi ganda, selain melindungi pantai dari abrasi, juga menjadi kawasan penelitian, serta destinasi wisata alam.

Warisan sejarah, perjuangan masyarakat melawan abrasi, serta inovasi pelestarian lingkungan menjadikan Tongke-Tongke dikenal luas. Dari kampung kecil bernama Cempae, kini desa ini berdiri sebagai salah satu contoh sukses kolaborasi masyarakat dan pemerintah dalam menjaga alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan.


Penulis: Supriadi Buraerah

Editor: Bahtiar