Jakarta, InsertRakyat.com – Mahkamah Agung Republik Indonesia kembali mengabadikan nama Prof. Dr. Kusumah Atmadja, S.H., sebagai penghormatan atas dedikasi dan jasanya dalam dunia hukum.

Namanya kini menjadi identitas ruangan utama di lantai 14 Gedung Mahkamah Agung RI. Selasa, (25/2/2025).

Bagi para praktisi hukum, akademisi, maupun pengunjung pengadilan, nama Kusumah Atmadja tentu tidak asing. Beliau adalah pelopor Mahkamah Agung RI sekaligus Ketua pertamanya.

Namanya telah lama diabadikan di berbagai ruang sidang utama, termasuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Barat, serta Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Sebagai bentuk penghormatan lebih lanjut, berbagai kegiatan resmi seperti pengambilan sumpah pejabat negara, pelantikan Hakim Agung, dan rapat pleno Mahkamah Agung RI kini berlangsung di ruangan yang menyandang namanya.

Tak hanya Mahkamah Agung, pemerintah pusat dan daerah juga mengabadikan namanya sebagai nama jalan di berbagai kota besar, termasuk di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, serta pusat pemerintahan Provinsi Bali di Renon, Denpasar.

BACA JUGA :  Desak PN Bulukumba Konstatering Sesuai Objek Putusan Perkara No. 31/Pdt.G/2021/PN.BlK

Lahir di Purwakarta pada 8 September 1898, Kusumah Atmadja berasal dari keluarga ningrat Pasundan. Ayahnya adalah seorang pemimpin wilayah administratif di Rengasdengklok.

Meskipun memiliki latar belakang ningrat, ia tidak berpangku tangan dan justru menjadi salah satu bumiputera yang berhasil lulus dari Rechtschool atau Sekolah Kehakiman pada 1919.

Setelah lulus, ia bekerja sebagai staf di Landraad (Pengadilan Negeri zaman Hindia Belanda) Bogor, sebelum melanjutkan pendidikan doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda, pada 1922.

Disertasinya berjudul “De Mohammadaansche vrome stichtingen in Indie” yang membahas hukum wakaf di Nusantara. Kecerdasannya diakui oleh C. van Vollenhoven, seorang ahli hukum Belanda, yang menilai Kusumah Atmadja sejajar dengan para juris Eropa.

Setelah meraih gelar doktor, Kusumah Atmadja kembali ke tanah air dan menjabat berbagai posisi strategis di pengadilan kolonial, termasuk Ketua Pengadilan Negeri Indramayu, Ketua Pengadilan Negeri Semarang, serta Hakim Tinggi di Padang dan Semarang. Saat Jepang mengambil alih kekuasaan, ia tetap dipercaya memimpin pengadilan di Semarang dan Jawa Tengah pada 1944.

BACA JUGA :  Mata Rakyat Menatap Perubahan: Seorang Wartawan Andi Saputra Kini Memegang Palu Keadilan, Resmi Jabat Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus

Meskipun berkarier di bawah pemerintahan kolonial, Kusumah Atmadja tidak kehilangan semangat nasionalismenya. Ia bergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan lainnya.

Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Ketua Mahkamah Agung RI pertama pada 19 Agustus 1945, dengan Mr. Satochid Kartanegara sebagai wakilnya.

Selain itu, Kusumah Atmadja juga berperan sebagai penasihat hukum pemerintah dalam berbagai perundingan internasional, termasuk Perjanjian Renville 1948 dan Konferensi Meja Bundar 1949.

Sebagai Ketua Mahkamah Agung, ia menegaskan bahwa peradilan harus merdeka dan tidak tunduk pada kekuasaan manapun.

BACA JUGA :  Potret Dedikasi Prof. Dr. Herri Swantoro, Dunia Peradilan Indonesia

Sikap ini tercermin dalam keputusannya yang tegas dalam kasus Mayjen Sudarsono pada 1946, di mana ia menolak intervensi politik dalam persidangan.

Selain menjadi Ketua Mahkamah Agung, Kusumah Atmadja juga dikenal sebagai akademisi. Ia mengajar di berbagai perguruan tinggi ternama, termasuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Sekolah Ilmu Kepolisian, serta dianugerahi gelar Guru Besar.

Setelah wafat pada 1952, pemerintah Indonesia mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1965 sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi dan perjuangannya dalam membangun hukum nasional serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Semangat dan integritas Kusumah Atmadja diharapkan menjadi inspirasi bagi generasi hakim masa kini agar tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan dan tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan politik atau godaan duniawi.

 

(Sup/Hmd)