SINJAI, INSERTRAKYAT.COM — Pemerintah Indonesia pada era Prabowo Subianto [Bapak Asta Cita – Merah Putih] memusatkan subsidi LPG 3 Kg dalam RAPBN 2026 sebesar Rp80,3 triliun. Naik dari Rp68,7 triliun dibandingkan dengan tahun 2025 ini. Angka itu tampak sebagai bukti keberpihakan pada rakyat kecil. Tetapi, di baliknya tersimpan risiko pemborosan yang sudah menjadi penyakit tahunan.
Kuota subsidi tahun depan dipatok 8,31–8,76 juta metrik ton. Harga jual resmi di pangkalan Rp16.000–Rp19.000 per tabung. Harga keekonomian di pasar global mencapai Rp50.000–Rp53.000. Selisih inilah yang membuat LPG 3 Kg menjadi komoditas bersubsidi paling rawan bocor.
Kebocoran itu bukan cerita baru. Gas melon yang mestinya menjaga nyala dapur warga miskin, kerap berakhir di meja restoran, usaha laundry, hingga rumah tangga mampu. [Pemerataan]. Jalur distribusi resmi sering kalah oleh kecepatan pasar gelap.
Mulai 2026, pemerintah menjanjikan pembelian berbasis Nomor Induk Kependudukan. Secara konsep, ini adalah pagar digital yang rapi. Namun, pagar setinggi apapun tak berarti jika pintunya dijaga setengah hati. Data ganda, identitas fiktif, hingga daftar penerima yang dimanipulasi akan tetap menjadi celah.
Audit stok menjelang hari besar keagamaan juga tak jarang hanya formalitas. Kelangkaan buatan terus berulang, memaksa warga membeli di luar harga subsidi. Pada titik ini, subsidi justru berubah menjadi beban tambahan bagi mereka yang seharusnya dilindungi.
Upaya menjaga selisih harga subsidi dengan keekonomian agar tak melebar juga penuh tantangan. Nilai tukar rupiah dan biaya impor adalah variabel liar. Mengendalikannya ibarat memegang air di dalam genggaman rakyat, selalu ada yang lolos.
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, total subsidi energi tahun depan mencapai Rp210,06 triliun. LPG 3 Kg dan BBM tertentu menggerus Rp105,41 triliun, sementara listrik menghabiskan Rp104,64 triliun. Angka ini memperlihatkan bahwa subsidi energi adalah beban fiskal terbesar yang terus membengkak.
Transformasi menuju subsidi berbasis penerima manfaat kembali dijanjikan. Namun, alasan kesiapan data dan infrastruktur terus digunakan untuk menunda. Seakan setelah puluhan tahun menggelontorkan triliunan rupiah, negara baru benar-benar mencari alamat penerimanya.
Program LPG Satu Harga yang akan diberlakukan di semua provinsi mulai 2026 patut diapresiasi. Tujuannya memangkas rantai distribusi dan mencegah permainan harga. Namun, pengalaman menunjukkan, kebijakan harga seragam tak selalu berarti manfaat yang merata. Kadang yang seragam hanyalah keuntungan di tangan segelintir orang.
Kebijakan ini akan diuji di lapangan. Jika.Tanpa pengawasan yang tegas, harga boleh sama, tetapi barang bisa saja hilang dari pasaran. Di kota, warga bisa membeli dengan harga subsidi. Di desa, warga hanya mendengar kabarnya.