BULUKUMBA, INSERT RAKYAT –– Negara hukum tidak sekadar menegakkan aturan, tapi memastikan keadilan berjalan di jalur yang benar. Dalam hal ini, pelaksanaan putusan pengadilan harus berpijak pada kehati-hatian yang terukur. Tidak boleh ada kesalahan teknis, apalagi menyasar objek yang keliru. Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bulukumba, Ernawaty, [benar] baru menyadari betul hal ini stelah Kantor PN Bulukumba di demo oleh Rakyat secara berulang-ulang. Ketua PN Bulukumba menegaskan bahwa pihaknya segera menindaklanjuti aspirasi rakyat.
“Kami akan cocokkan objek sesuai apa yang tertuang dalam amar putusan, baik luasnya juga batas-batasnya,” kata Ketua PN Bulukumba Ernawaty, saat menerima aspirasi masyarakat, Senin (7/7/2025).
Pernyataan itu menjadi titik terang di tengah kekhawatiran warga Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. Aksi protes yang dilakukan oleh Lembaga Gerakan Intelektual Satu Komando (GISK) bersama warga, bukan tanpa dasar. Mereka menilai putusan Nomor: 31/Pdt.G/2021/PN.BlK yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), berisiko salah sasaran apabila eksekusi dilakukan tanpa pencocokan lapangan atau konstatering.

Azhar, putra kandung tergugat Hj. Malawati, menyampaikan ke media bahwa objek tanah milik ibunya berada di titik koordinat yang berbeda dari yang disebutkan dalam putusan. “Kalau objek kami di titik koordinat 138, sedangkan yang disebut dalam putusan itu SPPT nomor 137. Kami jelas tidak bisa menerima jika yang dieksekusi malah tanah kami,” ujarnya, Ahad (13/7/2025).
Azhar juga memperlihatkan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 0654 dan surat ukur Nomor 0066/2008, lengkap dengan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sah hingga tahun berjalan. “Bangunan dan tanah kami diakui negara, bersertifikat resmi, dan sampai hari ini kami bayar pajaknya. Jadi bagaimana bisa kami jadi sasaran eksekusi padahal tidak disebut dalam amar putusan?” tegasnya.
Ketua GISK, Andi Riyal, mendesak agar konstatering segera dilakukan secara terbuka, melibatkan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah desa setempat. Ia menekankan pentingnya pelaksanaan konstatering bukan hanya untuk mencegah kekeliruan, tapi juga menjamin terpenuhinya hak-hak semua pihak secara adil. “Kami harap apa yang diucapkan Ibu Ketua Pengadilan Bulukumba dibuktikan. Kalau bisa konstatering itu dilakukan secepatnya agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum,” jelasnya.

Andi Riyal juga merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 93 Ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa sebelum pelaksanaan eksekusi putusan, panitera pengadilan wajib mengajukan permohonan pengukuran kepada kantor BPN. Langkah ini diperlukan untuk memastikan letak, luas, dan batas tanah secara objektif.
“Kami tidak menolak putusan pengadilan. Tapi kami ingin putusan itu dijalankan sesuai fakta hukum. Jangan sampai ada pelaksanaan eksekusi yang justru mencederai keadilan, apalagi bila dilakukan pada objek yang tidak sesuai,” Masih Kata Rakyat bersama GISK, Riyal. Menurutnya, konstatering adalah bagian dari mekanisme penting yang tidak boleh diabaikan oleh lembaga peradilan.
Pernyataan Ketua PN Bulukumba sejauh ini menunjukkan keberpihakan pada prosedur yang benar. “Pelaksanaan eksekusi tidak mudah. Kami juga butuh kehati-hatian, jangan sampai kami salah eksekusi,” ujar Ernawaty, mengulangi komitmennya di hadapan masyarakat yang datang menyampaikan aspirasi.
Konstatering bukan sekadar prosedur, kata Andi Riyal, tapi tanggung jawab moral pengadilan terhadap amar yang dilahirkannya sendiri. Jika pengadilan abai terhadap koordinat, batas, dan luas objek perkara, maka putusan hukum yang inkracht bisa berubah menjadi alat penindasan baru terhadap masyarakat yang tidak bersalah.

Langkah PN Bulukumba ini layak dijadikan contoh di banyak tempat. Sebab sejarah peradilan di Indonesia tidak kekurangan kasus eksekusi bermasalah, mulai dari salah alamat hingga objek sengketa yang salah ukur. Semuanya lahir dari proses eksekusi yang dilakukan terburu-buru tanpa konstatering.
Jika pengadilan di daerah mampu menunjukkan kehati-hatian dan keterbukaan dalam pelaksanaan putusan, maka inilah cahaya dari wujud keadilan, bahwa hukum masih punya wajah manusiawi. Wajah yang tidak kaku pada prosedur semata, tapi peka terhadap substansi keadilan yang hidup di tengah masyarakat luas.

Sebaliknya, jika konstatering diabaikan, maka publik berhak curiga, apakah peradilan masih berjalan dalam rel kebenaran, atau justru digiring oleh kepentingan tertentu?. Ini bukan sekadar soal teknis pengukuran tanah. Ini menyangkut legitimasi pengadilan dalam memastikan bahwa hukum tidak melukai orang yang tidak bersalah.
Dan jika dalam pelaksanaan konstatering ditemukan ketidaksesuaian, Andi Riyal menyampaikan dengan tegas, “Maka penegak hukum wajib memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang memberikan keterangan palsu. Jangan biarkan masyarakat terus hidup dalam keresahan dan ketidakpastian.”

Pesan ini, lanjutnya, bergaung jauh melampaui batas desa Bira dengan harapan menyentuh hati semua warga Indonesia yang pernah merasa dirugikan oleh kekeliruan eksekusi yang mengingatkan kita semua bahwa keadilan tidak berhenti di ruang sidang, tapi harus ditunaikan di tanah tempat kita berpijak. Kendati demikian, “Ketua Mahkamah Agung RI Prof Sunarto diharapkan evaluasi kinerja pelayanan publik di PN Bulukumba, Sulawesi Selatan,” kunci Riyal.
(Penulis: Supriadi Buraerah, Jurnalis Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung RI (FORSIMEMA RI -Insertrakyat.com).