Saat ini GISK bersama pengacara Marling SH Pengacara dan Korban Azhar sedang mengkaji Lokasi 20×25 yang masih misterius keberadaannya. (Insert/Foto Populer)
BULUKUMBA, INSERT RAKYAT – Ketua Umum Gerakan Intelektual Satu Komando (GISK), Andi Riyal, kembali menyoroti pelaksanaan putusan perkara Nomor 31/Pdt.G/2021/PN.BlK.
Putusan itu dinilai menyimpan kejanggalan pada bagian objek sengketa dalam amar.
Objek yang tercantum seluas 20×25 meter disebut tak jelas keberadaannya di lapangan.
Amar putusan menyebut objek berada di Dusun Tanetang, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari.
Namun lokasi dan ukuran riil di lapangan disebut tak sesuai.
Andi Riyal menyebut proses perdata diduga sarat keterangan bohong.
“Amar putusan akan sulit dilaksanakan jika objeknya tidak pasti,” ujarnya, Minggu (6/7/2025).
Ia menilai proses sidang sebelumnya di PN Bulukumba tidak sepenuhnya objektif.
GISK menduga pengadilan hanya mengikuti arahan penggugat dalam sidang lapangan.
Hal ini dinilai mengabaikan ketentuan formil gugatan dan keakuratan objek.
“Pengadilan harus menjaga marwah keadilan, bukan hanya mengikuti petunjuk sepihak,” tegasnya.
Menurut Riyal, tanpa konstatering, eksekusi berisiko mencederai kepercayaan publik.
Ia mendesak Ketua PN Bulukumba segera memerintahkan proses konstatering (pencocokan objek).
Konstatering adalah langkah penting sebelum eksekusi, demi menghindari kesalahan fatal.
“Jangan hanya baca teks putusan, tapi pastikan objeknya benar-benar ada,” katanya.
Andi Riyal juga menantang PN Bulukumba buka-bukaan soal hasil konstatering, jika ada.
Ia mempertanyakan, apakah hakim berani menempuh langkah hukum jika terbukti ada keterangan palsu.
Rujukannya adalah Pasal 242 ayat (1) KUHP tentang keterangan palsu di bawah sumpah.
“Kalau objek tidak ditemukan, hakim siap tak gunakan pasal 242 KUHP?” tanyanya tegas.
Bagi GISK, ini bukan hanya perkara tanah semata, tetapi menyangkut keadilan hakiki.
Jika eksekusi dipaksakan tanpa dasar sah, masyarakat akan kehilangan kepercayaan hukum.
“Marwah pengadilan harus dijaga, jangan justru dikhianati,” ucapnya.
GISK menegaskan akan terus bersuara dan mengawal proses ini sampai tuntas.
Sumber konflik bermula dari ketidaksesuaian antara isi putusan dan objek eksekusi.
Putusan menyebutkan ukuran objek seluas 20 x 25 meter, atau 500 meter persegi.
Namun objek eksekusi di lapangan justru memiliki dua ukuran berbeda.
Pertama, seluas 661 meter persegi sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor 0655.
Kedua, seluas 1.600 meter persegi berdasarkan catatan luas PBB.
Selain ukuran, perbedaan juga muncul pada titik koordinat objek tersebut.
Amar putusan mencantumkan titik koordinat 137 sebagai lokasi objek.
Namun pihak pelaksana eksekusi mengarah ke koordinat 138, yang dianggap tak sesuai.
Perbedaan itu dinilai sangat krusial, karena menyangkut sah tidaknya eksekusi.
GISK menilai eksekusi tanpa klarifikasi justru bisa melanggar hak pemilik sah.
“Kami akan terus awasi dan minta kejujuran hakim dalam hal ini,” ujar Riyal.
Ia menegaskan kembali pentingnya mengedepankan asas transparansi dan keadilan.
GISK tak berhenti menyerukan pentingnya konstatering yang sah dan terbuka.
Konstatering dimaknai sebagai verifikasi lapangan oleh pihak PN sebelum eksekusi.
“Kalau tidak ada objek 20×25 di lokasi, jangan dipaksakan,” tegas Riyal.
Jika pengadilan tetap melanjutkan eksekusi di lokasi yang berbeda, lanjutnya, maka dikhawatirkan akan timbul pelanggaran hukum dan konflik sosial.
Riyal menyatakan, publik punya hak tahu bagaimana cara eksekusi dilakukan.
“Apakah objek itu benar-benar ada, atau hanya di atas kertas?” tanyanya.
Ia juga mengajak semua pihak, termasuk aparat desa dan masyarakat sekitar, untuk aktif mengawasi.
“Ini menyangkut hak rakyat dan kedaulatan hukum di desa,” katanya.
GISK juga mengingatkan, putusan pengadilan tidak bisa dijalankan di luar substansi amar.
“Kalau berbeda objek, maka putusannya tak bisa serta-merta dieksekusi,” pungkasnya.
Riyal menyinggung ketegasan hukum terhadap keterangan palsu.
Pasal 242 ayat (1) KUHP menyatakan, barang siapa memberi keterangan palsu di bawah sumpah, diancam pidana maksimal 7 tahun penjara.
GISK menantang aparat penegak hukum untuk menguji kebenaran di balik keterangan dalam proses perkara.
“Jangan tutupi kebenaran hanya demi memenuhi keinginan pihak tertentu,” tegasnya.
Menurutnya, jika terbukti ada rekayasa, maka seluruh proses hukum harus dibuka kembali.
“Ini demi menjaga kehormatan institusi peradilan,” katanya.
GISK menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya menyangkut sepetak tanah di Desa Bira.
Ini menyangkut prinsip dasar negara hukum: keadilan, transparansi, dan kejujuran.
“Jika pengadilan tak adil, ke mana lagi rakyat akan mengadu?” ujar Riyal menutup pernyataan.
PN Bulukumba belum memberikan keterangan resminya. Mahkamah Agung diharap menyikapi dan peduli dengan aspirasi rakyat di ruang publik.
Kendati demikian, saat ini GISK bersama pengacara Marling SH Pengacara dan Korban Azhar sedang mengkaji Lokasi 20×25 yang masih misterius keberadaannya.
(SUP /Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung -FORSIMEMA RI)