“Pemilik Sertifikat (Masyarakat).meminta agar pelaksanaan eksekusi berlaku adil dan jujur yang diduga lokasi miliknya tidak sesuai luas dengan luas yang ada dalam amar putusan
INSERTRAKYAT.COM, Bulukumba — Rencana eksekusi lahan di Dusun BT. Tappalang, Desa Pataro, Kecamatan Herlang, menuai protes dari warga. Surat Pemberitahuan Pelaksanaan Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Bulukumba tertanggal 20 Juli 2025 dinilai keliru, karena diduga berbeda luas objek.
Eksekusi dijadwalkan berlangsung pada Senin, 4 Agustus 2025, berdasarkan perkara Nomor 3/Pdt.G/2020/PN Blk, jo putusan 320/PDT/2020/PT.Mks, dan penetapan Ketua PN Bulukumba Nomor 2/Pdt.Eks/2021/PN Blk. Namun, warga menilai eksekusi tidak sesuai objek sengketa yang telah diputus pengadilan.
Hasanuddin, anak dari pihak tergugat, menyampaikan bahwa tanah yang akan dieksekusi seluas 7.775 m² bukan sepenuhnya milik tergugat, dan terjadi kekeliruan.
“Lahan orang tua saya hanya seluas 4.575 m² dan sudah bersertifikat SHM Nomor 192 dengan surat ukur 1900/1997. Objek yang akan dieksekusi melampaui luas itu,” jelas Hasanuddin kepada media.
Lebih lanjut, Hasanuddin menegaskan bahwa sertifikat milik keluarganya tidak pernah menjadi bagian dari objek gugatan perdata, dan BPN Bulukumba juga tidak pernah dilibatkan dalam gugatan yang kini menjadi dasar eksekusi.
Menanggapi protes warga, Lembaga GISK (Gerakan Integritas Sosial dan Keadilan) mendesak PN Bulukumba untuk mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2001 sebelum melaksanakan eksekusi.
Riyal, perwakilan GISK, menjelaskan bahwa SEMA 7/2001 mengatur pentingnya pemeriksaan setempat (PS) terhadap objek eksekusi agar jelas luas dan batasnya. Jika ada perbedaan antara amar putusan dan kondisi lapangan, eksekusi sebaiknya ditunda atau ditinjau kembali.
“Pemeriksaan setempat diperlukan untuk memastikan objek eksekusi sesuai dengan isi putusan. Jika ada ketidaksesuaian signifikan, eksekusi bisa batal demi hukum,” tegas Riyal.
Riyal menambahkan, SEMA ini terbit untuk mencegah sengketa baru akibat pelaksanaan putusan terhadap objek yang tidak jelas.
“Objek yang tidak pasti luas dan batasnya, bisa membuat eksekusi menjadi tidak sah atau tidak mungkin dilaksanakan,” imbuhnya.
GISK juga menilai bahwa perbedaan luas objek antara putusan dan lahan yang akan dieksekusi berpotensi melanggar hukum acara perdata, jika tidak diklarifikasi lewat pemeriksaan setempat.
“Kami berharap majelis hakim memerintahkan pemeriksaan lapangan. Bila tidak sesuai, maka eksekusi tidak boleh dilanjutkan,” ujar Riyal.
Jika PN Bulukumba tetap menjalankan eksekusi tanpa pemeriksaan ulang, GISK menilai hal itu berisiko cacat hukum, terutama karena keberadaan sertifikat hak milik (SHM) yang belum pernah dibatalkan dalam putusan perdata.
“Sesuai asas kepastian hukum, setiap pelaksanaan eksekusi wajib menjamin kesesuaian antara amar putusan, subjek, dan objek sengketa. Perbedaan dalam pelaksanaan eksekusi tanpa verifikasi lapangan berpotensi menimbulkan sengketa baru serta mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan,” pungkas Riyal.
Berikut dokumentasi Foto terkait;

Penulis: Supriadi Buraerah Jurnalis Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung RI (FORSIMEMA RI/Insertrakyat.com).