BULUKUMBA, INSERT RAKYAT –
Pengadilan Negeri (PN) Bulukumba didesak melakukan konstatering sesuai amar Putusan Perkara Perdata Nomor 31/Pdt.G/2021/PN.BlK yang telah berkekuatan hukum tetap.

Desakan itu datang Ketua Umum Lembaga Gerakan Intelektual Satu Komando (GISK), Andi Riyal di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Menurut Andi Riyal, konstatering sangat penting dilakukan di lokasi objek sengketa. Menurutnya objek itu terletak di Dusun Tanetang, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari.

“Jika konstatering dilakukan pada tanah milik Hj. Malawati, maka sangat keliru. Karena objek yang dimaksud penggugat berbeda baik secara luasan maupun batas dengan tanah milik Hj. Malawati,” tegas Riyal, Sabtu, malam (21/6).

Riyal mengatakan bahwa, tanah milik Hj. Malawati memiliki sertifikat hak milik (SHM) Nomor 00654/Bira dengan surat ukur Nomor 0066/2008 tertanggal 19 Maret 2008 seluas 661 meter persegi. Sertifikat tersebut menurut Riyal sah secara hukum dan diakui negara.

BACA JUGA :  Eksekusi Tanah di Pataro Diprotes Warga, GISK Desak PN Bulukumba Pedomani SEMA 7/2001

Namun dalam amar putusan, lanjut Riyal, objek yang menjadi dasar gugatan justru merujuk pada SPPT Nomor 73.02.030.001.011-0137.0 atas nama penggugat. Karena itu, konstatering perlu dilakukan secara cermat agar tidak terjadi eksekusi pada lokasi yang keliru.

“Kami mendesak agar sebelum eksekusi dilakukan, Ketua PN Bulukumba memastikan lebih dulu bahwa objek yang hendak dieksekusi benar-benar sesuai dengan amar putusan,” ujar Riyal.

GISK menganggap, kekeliruan dalam konstatering berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum, mengingat ketidaksesuaian antara objek amar putusan dengan lokasi eksekusi.

“Jika tetap dipaksakan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada lembaga peradilan. Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal keadilan,” lanjutnya.

GISK juga menyampaikan akan menggelar aksi unjuk rasa di depan Mapolres Bulukumba dan PN Bulukumba. Aksi ini bertujuan menyoroti potensi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan eksekusi yang tidak sesuai dengan dasar putusan.

BACA JUGA :  Ketua Mahkamah Agung Ungkap Kabar Gembira Untuk Masyarakat Desa

Dalam pernyataannya, Riyal menyebut ada indikasi pelanggaran terhadap Pasal 263 Ayat 1 dan Pasal 242 Ayat 1 KUHP. Keduanya terkait pemalsuan dan pemberian keterangan palsu di bawah sumpah dalam proses peradilan. Jika terbukti, pelanggaran tersebut dapat diancam pidana penjara hingga tujuh tahun.

GISK juga menyoroti lemahnya posisi sertifikat hak milik dalam praktik peradilan perdata di Bulukumba.

“Kami mendapati ada sertifikat hak milik yang kalah hanya karena berbenturan dengan PBB. Ini tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang dijamin UUPA dan PP 24/1997,” ujar Riyal.

Menurutnya, perlindungan hukum terhadap sertifikat hak milik harus ditegakkan. Karena itu, GISK terus mendorong aparat peradilan agar berpihak pada korban ketidakadilan, bukan memperkuat kekeliruan prosedural.

BACA JUGA :  GISK : PN Bulukumba Lakukan Konstatering Objek Putusan Perkara No. 31/Pdt.G/2021, Kenapa Takut?

GISK menyatakan, konstatering merupakan instrumen penting untuk mencocokkan objek perkara secara faktual di lapangan dengan isi amar putusan. Tanpa konstatering, pelaksanaan eksekusi dikhawatirkan menjadi bentuk ketidakadilan baru.

“Kami tidak menolak putusan pengadilan. Kami hanya ingin putusan itu dilaksanakan pada tempat dan objek yang benar,” tandas Riyal.

Ketua Umum GISK berharap proses peradilan berjalan objektif, transparan, dan sesuai nilai-nilai keadilan serta Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia juga menekankan pentingnya pengawasan dari lembaga peradilan tinggi atas pelaksanaan peradilan tingkat pertama.

“Lembaga peradilan seharusnya menjadi pelindung korban, bukan alat ketidakadilan. Semua pihak harus tunduk pada hukum, termasuk pejabat negara,” tutup Riyal.


 

Penulis: Supriadi, Anggota Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung (FORSIMEMA RI).