Sinjai, InsertRakyat.com — Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di Sulawesi Selatan pada Mei 2025 hanya mencapai 40,99 persen. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 8,34 poin dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan ini diungkapkan Kepala BPS Sulsel, Aryanto, dalam konferensi pers daring, Senin (1/7/2025), yang diikuti seluruh BPS kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Meski kunjungan wisatawan meningkat, baik domestik maupun mancanegara, keterisian hotel berbintang justru menurun. Menurut Aryanto, hal ini menandakan pergeseran pola konsumsi wisatawan dalam memilih akomodasi.
“Wisatawan kini lebih memilih penginapan non-bintang atau akomodasi berbasis aplikasi karena faktor harga, kemudahan akses, dan fleksibilitas,” ujarnya.

Kuatnya peran hotel non-bintang dan penginapan alternatif, khususnya di kawasan wisata non-inti seperti Toraja, Bira, dan wilayah pinggiran Makassar memengaruhi turunnya TPK Hotel Berbintang.
Aryanto menilai perubahan ini harus disikapi sebagai peluang strategis, bukan semata ancaman terhadap bisnis hotel berbintang.
Dalam keterangannya, Aryanto mendorong pemerintah daerah dan pemangku kepentingan pariwisata mengadopsi pendekatan inklusif. Semua jenis akomodasi, baik formal maupun informal, perlu didukung dalam kerangka pemulihan ekonomi daerah.
Langkah strategis yang diusulkan antara lain adalah pendataan ulang hotel non-bintang dan penginapan lokal secara sistematis
Pelatihan dan sertifikasi layanan bagi pelaku usaha kecil-menengah di sektor penginapan
Peningkatan konektivitas dan promosi terpadu antara destinasi wisata dan jaringan akomodasi alternatif
Penyusunan regulasi ringan namun akomodatif agar usaha penginapan informal mendapat pendampingan legal dan insentif produktif.
Aryanto menyebut penurunan TPK hotel berbintang merupakan indikasi kuat terjadinya transformasi di sektor pariwisata.
Jika dikelola dengan cermat, pergeseran ini dapat memperkuat konektivitas ekonomi pariwisata hingga ke level lokal, sekaligus memperluas akses manfaat ekonomi secara lebih merata dan berkelanjutan.
“Hotel non-bintang dan penginapan berbasis komunitas adalah realitas baru. Negara dan daerah tak boleh ketinggalan dalam merespons dinamika ini,” tegasnya.
Penguatan platform daring seperti Airbnb, RedDoorz, dan OYO, ikut mengubah preferensi akomodasi. Wisatawan milenial dan digital nomads, misalnya, lebih memilih penginapan fleksibel yang tidak membebani bujet.
Kondisi ini menekan okupansi hotel konvensional yang belum menyesuaikan diri dengan ekosistem digital dan kebutuhan fleksibilitas.
Untuk menjaga keberlanjutan pariwisata daerah, BPS Sulsel menekankan Integrasi data dan informasi sektor akomodasi, termasuk penginapan informal
Kebijakan fiskal pro-rakyat, seperti insentif dan kemudahan perizinan bagi UMKM penginapan
Pemanfaatan teknologi digital dalam promosi dan manajemen layanan wisata
Sinergi antar sektor, termasuk dukungan terhadap pelatihan tenaga kerja lokal di sektor jasa akomodasi
Jika tidak diantisipasi, pelaku usaha hotel konvensional bisa tertinggal. Namun jika dikelola dengan baik, potensi ini justru dapat memperkaya lanskap pariwisata Sulawesi Selatan.
Laporan: Amrullah Andi Faisal.
Editor: Bahtiar.