Jakarta, InsertRakyat.com
“Fenomena” headline reading kini menjadi tantangan serius bagi lembaga peradilan. Terkadang, banyak masyarakat langsung menyimpulkan sebuah putusan hanya dari judul berita, tanpa menyentuh isi ataupun memahami proses hukum yang telah dilalui secara cermat.

Padahal, satu putusan pengadilan bukan hasil tebak-tebakan. Di balik ketukan palu hakim, ada fakta hukum, ada pertimbangan yuridis, dan ada tanggung jawab konstitusional yang melekat pada setiap keputusan.

“Saya melihat masyarakat kerap menghakimi hakim hanya karena tidak sepakat dengan hasil putusan, padahal tidak membaca alasan yuridisnya. Ini masalah yang perlu dijawab dengan komunikasi yang cerdas dan terbuka,” ujar Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H., Juru Bicara Mahkamah Agung yang juga Hakim Agung aktif saat dikonfirmasi lajur daring– InsertRakyat.com, Selasa (13/5) malam dari Sulawesi Selatan, pukul 21.58 WITA.

Mahkamah Agung menyadari, di era digital seperti sekarang, kecepatan informasi tak selalu beriring dengan kedalaman pemahaman. Tanpa narasi resmi yang utuh, bahkan putusan yang benar pun bisa disalahpahami dan memicu kegaduhan.

BACA JUGA :  GISK Menakar Polemik Eksekusi Tanah di Bulukumba

Untuk itu, Mahkamah Agung mengungkap strategi komunikasi publik terbaru guna membangun ulang kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Salah satu langkah awal adalah menjadikan media sosial pengadilan sebagai ruang edukasi, bukan hanya ruang dokumentasi apel dan seremonial internal.

Masyarakat kini menuntut informasi yang lebih fungsional: jadwal sidang, ringkasan putusan penting, serta penjelasan hukum yang mudah dimengerti. MA ingin agar akun resmi pengadilan mampu menjawab kebutuhan ini secara aktif dan transparan.

Selain itu, MA memperbarui layanan Direktori Putusan agar lebih ramah publik. Tak sedikit putusan penting yang belum tersedia salinannya secara daring, atau sulit diakses karena gangguan teknis. Penyempurnaan direktori ini diharapkan bisa mempercepat keterbukaan dan memperkuat kepercayaan.

BACA JUGA :  Jejak Emas Kusumah Atmadja: Pelopor Mahkamah Agung RI dan Pejuang Kemerdekaan

Tak kalah penting, pengadilan kini didorong untuk rutin mengeluarkan siaran pers resmi terutama untuk perkara-perkara yang menarik perhatian publik. Dengan begitu, media dan masyarakat bisa mendapat narasi langsung dari sumbernya, bukan dari opini liar yang tidak berdasar.

Langkah lainnya adalah melatih jajaran humas pengadilan agar lebih komunikatif. Bahasa hukum yang terlalu teknis harus diterjemahkan menjadi bahasa yang dimengerti publik luas. MA juga membekali juru bicara pengadilan dengan pelatihan manajemen krisis, agar tetap tenang dan profesional dalam situasi tekanan.

Generasi milenial di lingkungan MA pun kini diberi ruang lebih luas untuk menjadi motor komunikasi digital. Mereka dinilai punya kepekaan konten dan mampu memanfaatkan teknologi, mulai dari AI, video pendek, infografis, hingga chatbot hukum edukatif.

BACA JUGA :  Mata Rakyat Menatap Perubahan: Seorang Wartawan Andi Saputra Kini Memegang Palu Keadilan, Resmi Jabat Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus

Sebelumnya, dihubungi melalui sambungan daring secara terpisah, pada Selasa petang, (13/5), Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Sobandi, mengatakan bahwa komunikasi publik bukan sekadar pelengkap, namun bagian dari integritas lembaga. “Transparansi dan kecepatan informasi adalah wajah baru pengadilan yang harus kita jaga bersama,” tegasnya.

Kendati demikian, seluruh langkah ini tak semata untuk membenahi citra lembaga, namun, Prof Yanto menyatakan dengan tegas, bahwa ini juga sebagai wujud tanggung jawab Mahkamah Agung dalam mendidik masyarakat memahami proses hukum secara utuh.

“Saat pengadilan terbuka dan komunikatif, publik akan belajar menyikapi hukum dengan dewasa,” pungkas Prof. Yanto.