JAKARTA, — Asta Cita adalah program Nasional, bahkan mulai mendapat pengakuan manca negara. Komposisi program ini diantaranya swasembada pangan, energi terbarukan, Efesiensi Anggaran dan pemberantasan korupsi. Namun pertanyaan publik, kemudian muncul, mengapa Asta Cita Ompong terkait dengan Skandal Kilang Tuban. Sabtu, (7/6/2025). Asta Cita ini semula dicetak oleh orang nomor satu di Republik ini, adalah Presiden Prabowo Subianto.
BACA JUGA: Temuan BPK : Skandal 8 Triliun, Proyek Kilang Tuban
Berbagai Sumber menyebut, bahwa bila nanti, atau justru sekarang saja, ketika berbincang dengan jujur dari hati ke hati, dengan nada nurani publik yang kian peduli terhadap Asta Cita. [Lantas]. Skandal Kilang Tuban sangat membutuhkan perhatian Presiden Prabowo Subianto melalui Kabinet Merah Putih dan Kejaksaan Agung RI, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Kortas Tipikor Mabes Polri. Di sana [Kilang Tuban] terdapat potensi mala petaka bagi keuangan negara. Berkaca pada Temuan BPK RI.
Sebelumnya, pada suatu hari di awal Juni 2025, ketika Jakarta diliputi riuh isu energi dan keuangan negara, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) akhirnya buka suara. Perusahaan yang menjadi tulang punggung pengolahan minyak nasional ini tengah menjadi sorotan tajam Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas sebuah proyek raksasa yang belum kunjung berlabuh: Grass Root Refinery (GRR) Tuban, atau yang lebih dikenal publik sebagai Proyek Kilang Tuban.
Hermansyah Y Nasroen, Corporate Secretary KPI mencoba menjelaskan, bahwa pihaknya berupaya berkomunikasi dengan BPK.
“Kami telah dan akan terus berkoordinasi dengan BPK terkait dengan tindak lanjut rekomendasi atas temuan tersebut,” kata dia seperti dikutip dari narasi yang diperoleh Insertrakyat.com pada Sabtu, 7 Juni.
Penjelasan itu tampaknya diplomatis, namun tak bisa sepenuhnya meredakan gemuruh yang sudah telanjur menggema di ruang publik.
Temuan BPK memang bukan sembarang isu. Potensi kerugian negara disebut mencapai US$515,21 juta, atau setara Rp8,38 triliun. Angka yang cukup untuk membangun puluhan rumah sakit atau membiayai sektor pendidikan di daerah tertinggal. Proyek yang dimulai sejak 2015 itu kini berada di persimpangan antara ambisi energi nasional dan realitas ketidakpastian investasi global.
KPI, lanjut Hermansyah, tak tinggal diam. Mereka telah menggaet penasihat keuangan, financial advisor, untuk mengamankan pendanaan eksternal. Namun, satu simpul penting belum terikat. Keputusan investasi akhir, atau Final Investment Decision (FID), masih dalam proses peninjauan dan finalisasi. Janji rampung “dalam waktu dekat” seolah jadi harapan yang terus tertunda.
Di balik proyek ini berdiri dua raksasa: PT Pertamina (Persero) dan Rosneft Singapore Pte Ltd, anak usaha perusahaan migas Rusia, PJSC Rosneft Oil Company. Mereka bersama-sama membentuk entitas gabungan: PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP). Di sini, Pertamina memegang saham mayoritas, 55%, sisanya milik Rosneft.
Namun, angka yang tertera di laporan BPK menunjukkan hal lain: dana sebesar US$416,34 juta telah digelontorkan, sebuah komitmen besar yang bisa berubah menjadi beban, jika proyek ini tak juga dilanjutkan.
Dana itu digunakan untuk berbagai keperluan awal: dari pembebasan lahan senilai US$295,51 juta, hingga pengeluaran untuk desain teknis, konsultasi manajemen, hingga pajak senilai US$219,69 juta. Namun, apa artinya semua itu bila proyek mandek?.
BPK menyebutkan bahwa sumber utama potensi kerugian terletak pada ketidakpastian kelanjutan proyek, yang telah berjalan hampir satu dekade tanpa kejelasan akhir.
Mengapa proyek sebesar ini tak kunjung mencapai FID? Jawabannya berlapis. Proses pembebasan lahan baru tuntas pada Januari 2019, lalu disusul pandemi COVID-19 yang mengguncang industri global. Belum lagi tensi geopolitik yang kian memanas, membuat pemilihan penasihat keuangan semakin rumit. Hingga kini, Pertamina bahkan disebut belum berhasil mengikat komitmen dari financial advisor untuk mengamankan pinjaman luar bagi proyek ini.
Padahal, proyek GRR Tuban adalah bagian dari ambisi energi nasional dengan nilai investasi mencapai US$20,8 miliar. Pembiayaannya dirancang dari skema 60% utang dan 40% ekuitas, dengan komitmen Rosneft sebesar US$7 miliar dan Pertamina US$8,6 miliar. Dari jumlah itu, dana yang perlu disetor oleh Pertamina mencapai US$4,55 miliar, dan Rosneft US$3,72 miliar. Sisa pembiayaan sebesar US$5,2 miliar diharapkan berasal dari skema EPC financing.
Namun, hingga pertengahan 2025, realisasi FID masih tergantung pada simpul-simpul negosiasi yang belum tuntas.
Dalam dunia investasi energi, waktu adalah uang. Namun dalam berbangsa dan bernegara kejujuran adalah penentu keberhasilan termasuk suksesnya Asta Cita. Dan proyek GRR Tuban kini berada di pusaran risiko finansial yang nyata. Di tengah tekanan publik dan sorotan auditor negara, Pertamina dan KPI dituntut untuk tidak hanya menjawab kritik, tapi juga menuntaskan pekerjaan rumah yang telah mereka mulai sejak satu dekade silam.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar “kapan FID disepakati?” Tapi juga: apakah bangsa ini siap menanggung ongkos dari sebuah Mega proyek yang terlalu lama berdiri di atas fondasi ketidakpastian?. Asta Cita tunjukkan taring segera.
(****/Red).