DIAKUI Pemerintah bahwa, tumpang tindih lahan yang bertahun-tahun menghantui Masyarakat Indonesia menuntut adanya Undang-Undang Administrasi Pertanahan baru yang memihak kepada kepentingan masyarakat. Selasa, 25 November.
Sehari sebelumnya tepat Senin, 24 November. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menegaskan, sertipikat yang diterbitkan antara 1961 hingga 1997 menjadi sumber utama konflik lahan. “Jika tidak ada aturan baru dengan batas waktu tegas, masalah ini akan terus muncul,” ujarnya saat Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Adapun diketahui, UU baru yang diusulkan meniru mekanisme transisi UU Pertanahan lama. Pemegang sertipikat lama diberikan waktu 5–10 tahun untuk mendaftar ulang, setelah itu “tutup buku” bagi sengketa yang sama.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyinggung akar masalah. Ia mengatakan tumpang tindih regulasi lintas kementerian yang menciptakan paradoks hukum. “UU Pokok Agraria untuk keadilan sosial, tetapi UU Kehutanan, UU BUMN Nomor 16 Tahun 2025, dan UU Perbendaharaan Negara justru membuka privatisasi aset tanpa batas waktu,” kata Khozin.
Persoalan berulang ini, sebut Khozin, menimbulkan constitutional damage dan benturan konstitusi, sehingga DPR memiliki kewajiban konstitusional untuk menuntaskan masalah ini.
Masih nada parlemen, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, yang menjamin komitmen anggaran bagi pembenahan sistem pertanahan. .
Pembenahan ini bertujuan untuk menuntaskan konflik lahan yang telah membebani masyarakat puluhan tahun. Undang-undang baru dipandang sebagai jalan satu-satunya untuk menciptakan administrasi pertanahan modern, transparan, dan akuntabel.
Rapat tersebut dihadiri pejabat tinggi ATR/BPN dan diikuti secara daring oleh seluruh Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia.



































