Area Kantor Kejari Batam (foto Populer).
BATAM, INSERTRAKYAT.com — Prosedur penerimaan tamu di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam memantik pertanyaan serius publik. Pasalnya, wartawan dan aktivis LSM diwajibkan menyerahkan ponsel sebelum masuk ke lingkungan kantor penegak hukum tersebut.
Hal itu disampaikan langsung oleh seorang jaksa di Kejari Batam, Muhammad Arfian, saat dimintai keterangan pada Kamis (3 Juli 2025).
“Jadi wartawan dan LSM harus tinggalkan handphone baru bisa masuk, apalagi mau ketemu Kasi Intel Kejari Batam, Priandi Firdaus,” kata Arfian anak buah Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Kebijakan tersebut memicu pertanyaan. Awak media langsung mempertanyakan dasar hukum dari aturan tersebut yang terkesan membatasi akses kerja jurnalistik dan fungsi kontrol sosial LSM.
Menjawab itu, Arfian mengaku kebijakan tersebut merupakan bagian dari standard operating procedure (SOP) internal Kejari Batam.
“Itu SOP yang ada. Silakan tanyakan kepada Kasi Intel saja,” jawab Arfian singkat.
Namun, ketentuan itu ternyata tidak diberlakukan kepada semua pihak. Dari pantauan langsung wartawan di lobi Kejari Batam, terlihat seorang advokat bernama Bistok Nadeak masuk ke gedung dengan bebas membawa tas dan ponsel.
Tak ada petugas Kejari Batam yang mencegah atau meminta sang advokat mematuhi SOP sterilisasi seperti yang diberlakukan terhadap wartawan dan LSM.
“Silakan hubungi Kasi Intel Kejari Batam,” ujar Arfian lagi saat ditanya soal perbedaan perlakuan terhadap pengacara dan awak media.
Dua Standar: Perlukah Klarifikasi dari Kajari?
Perlakuan berbeda ini memunculkan dugaan adanya standar ganda dalam penerapan SOP di lingkungan Kejari Batam. Jika benar demikian, maka hal ini berpotensi mencederai asas keterbukaan informasi publik dan menghalangi kerja-kerja pengawasan oleh masyarakat sipil, termasuk media dan LSM.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa menghalangi tugas wartawan dalam memperoleh informasi dapat berujung pidana.
Kejari Batam semestinya memberikan penjelasan terbuka kepada publik soal SOP tersebut. Apakah benar ada ketentuan resmi yang mengatur pelarangan membawa ponsel bagi wartawan dan LSM? Apakah aturan itu tertulis, dan berlaku adil kepada seluruh pihak tanpa diskriminasi?
Langkah preventif seperti sterilisasi alat komunikasi bisa diterima jika diberlakukan secara adil dan proporsional. Namun jika hanya berlaku untuk pihak tertentu, sementara kelompok lain bebas keluar-masuk dengan ponsel dan tas, maka hal ini menimbulkan kesan adanya ruang gelap dalam penegakan hukum.
Alih-alih menciptakan rasa aman, kebijakan semacam itu justru bisa memperkuat kecurigaan publik terhadap integritas lembaga kejaksaan.
Kejelasan sangat dibutuhkan. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam, I Ketut Kasna Dedi, selayaknya segera memberikan penjelasan resmi dan memastikan bahwa SOP yang dijalankan tidak melanggar prinsip akuntabilitas dan keterbukaan. (Tim/Red).