Kejujuran Lebih Tajam dari Berani Beretika: Strategi Menembus Narasumber 

Oleh: Miftahul Jannah

Di tengah derasnya arus informasi dan ketatnya kompetisi media, dunia jurnalistik menghadapi ujian besar. Di balik layar, berbagai strategi dilancarkan demi mendapatkan berita utama, narasumber eksklusif, dan perhatian publik. Namun, di antara segala teknik dan taktik yang dirancang, kejujuran tetap menjadi senjata paling ampuh, meski kerap dilupakan.

Jurnalisme sejati bukan tentang siapa paling cepat, paling viral, atau paling berani mengorek. Namun tentang siapa yang paling jujur dalam menyampaikan informasi yang layak dikonsumsi publik. Semoga tidak ada dari kita yang mengidolakan cara-cara manipulatif daripada prinsip luhur profesi mulai ini.

Menjadikan strategi kekuasaan sebagai rujukan. Isinya menyesatkan: “Hancurkan musuhmu”, “Sembunyikan niatmu”, “Kendalikan opini publik”. Ini bukan ajaran wartawan, ini jalan mereka yang lebih memilih kelicikan daripada keluhuran akhlak.

BACA JUGA :  Intrafamilial Sexual Abuse: Menguak  Kegagalan Kota Majene Membangun Sistem Perlindungan Anak

Padahal wartawan bukan sekadar pemburu fakta. Ia adalah penjaga nurani publik, perantara antara suara rakyat dan telinga pemangku kekuasaan. Ketika wartawan mulai menyembunyikan maksud, memelintir makna, dan mengaburkan kebenaran demi kepentingan tertentu, maka jurnalisme kehilangan jiwa.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan umatnya, bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan tujuan. Bahkan saat punya kekuatan membalas, beliau memilih memaafkan. Ketika tipu daya bisa menyelamatkan, beliau tetap memilih kejujuran. Beginilah seharusnya wartawan memposisikan diri, bukan sebagai alat propaganda atau pemburu sensasi, melainkan sebagai penjaga nilai.

BACA JUGA :  Apakah Hukum Selalu Adil? Tinjauan Etika Normatif atas Wajah Hukum Kita!

Kita tidak harus menjadi seperti air yang mengikuti bentuk wadah. Kita perlu seperti karang di tengah gelombang. Tak mudah hanyut, tak mudah goyah. Wartawan bukanlah pemain sandiwara yang bermain dalam fantasi orang lain. Kita hadir membawa berita sebagai cahaya.

Dalam dunia yang ramai mencari panggung, wartawan sejati diam-diam menjaga marwah. Keberanian untuk berkata benar, ketika semua orang memilih bungkam, itulah kehormatan seorang pewarta. Kejujuran adalah kompas yang menuntun langkah kita, baik dalam Waktu atau TEMPO yang singkat, dan bahkan ketika kabut kepentingan menutupi jalan. Di sana tidak ada SEKAT.

Jangan sampai kita dikenal hanya karena keberanian menggali, tetapi dilupakan karena gagal menjaga nurani. Terlebih karena tidak pernah mampu menuntaskan suatu persoalan berita. Jangan bangga jadi yang tercepat, jika yang disampaikan justru menyesatkan. Sebab tujuan akhir dari jurnalisme bukan hanya di kolom headline, tetapi pada kepercayaan yang tumbuh di hati masyarakat. Tidak ada individu yang sempurna termasuk penulis artikel amburadul ini. Terpenting bagi kita semua di dunia jurnalistik eloknya di pahami bahwa terdapat 11 butir kode etik Jurnalistik Indonesia (KEJ).

BACA JUGA :  Sekolah Rakyat -- Pertautan Asta Cita dan ‘Pengusaha Mengajar’ APINDO

Mari menulis dengan jiwa, melaporkan informasi dengan tulus, dan menyuarakan suara narasumber dengan penuh keberanian lewat berita, kita pun dengan tunduk pada kode etik Jurnalistik. Dengan kejujuran pun kita sedianya tidak malu – malu mengakui, tidak semua informasi layak dijadikan sebuah berita.