BANDA ACEH, INSERTRAKYAT.com – Sorotan publik kembali mengarah ke penegakan hukum di Aceh. Ahad, (28/9/2025). Di sana, Kapolda Aceh Irjen Pol Marzuki Ali Basyah didesak segera buka suara dengan memberikan klarifikasi terkait tudingan serius yang dilontarkan Panitia Khusus (Pansus) Minerba dan Migas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Tudingan tersebut bukan hal sepele. Dalam rapat paripurna DPRA pada 25 September 2025, Pansus mengungkap adanya praktik setoran dari tambang ilegal yang diduga mengalir ke aparat penegak hukum (APH) dengan nilai mencapai Rp360 miliar setiap tahun.
Menurut laporan Pansus, di Aceh terdapat ratusan titik tambang ilegal yang beroperasi secara terang-terangan. Aktivitas itu disebut melibatkan sedikitnya 1.000 unit ekskavator. Dari setiap unit, diduga disetor Rp30 juta per bulan ke pihak aparat.
Jika dihitung, setoran itu menghasilkan Rp30 miliar per bulan. Dalam setahun, jumlahnya melonjak menjadi Rp360 miliar. Angka tersebut sontak mengejutkan publik karena jauh melampaui potensi penerimaan pajak resmi daerah.
Pansus DPRA menegaskan, data tersebut diperoleh dari hasil investigasi lapangan dan keterangan masyarakat di sekitar tambang. Meski belum berbentuk bukti hukum final, fakta lapangan yang terungkap cukup kuat untuk dijadikan dasar investigasi aparat penegak hukum.
Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, ikut bersuara lantang. Ia meminta Kapolda Aceh tidak diam menghadapi tuduhan ini. Menurutnya, isu sebesar ini menyangkut reputasi institusi kepolisian yang harus dijaga.
“Kapolda perlu segera buka suara, apakah benar ada aliran setoran tambang ilegal ke aparat. Jangan sampai masyarakat menilai polisi melindungi praktik yang jelas merugikan negara,” tegas Nasruddin.
Nas menyebut jika dugaan setoran itu benar, maka kerugian negara luar biasa besar. Dana yang seharusnya masuk ke kas negara sebagai pajak justru bocor ke kantong pribadi. “Uang sebesar itu bisa membangun rumah sakit, sekolah, hingga infrastruktur jalan di Aceh,” ujarnya.
Tambang ilegal bukan hal baru di Aceh. Aktivitas penambangan emas dan batu bara tanpa izin telah lama menjadi masalah klasik. Ribuan masyarakat menggantungkan hidup pada sektor ini, namun status ilegal membuat hasilnya rawan diselewengkan.
Banyak laporan menyebut keberadaan tambang ilegal justru seperti dibiarkan. Aparat dinilai hanya melakukan razia sesekali, tetapi tambang tetap beroperasi setelah itu. Fenomena ini menimbulkan dugaan adanya “main mata” antara pelaku tambang dan aparat di lapangan.
Pansus DPRA bahkan menyinggung soal mekanisme setoran yang sudah berjalan sistematis. Setiap ekskavator disebut wajib menyetor bulanan agar bisa bekerja aman. Pola ini yang memunculkan angka Rp360 miliar per tahun.
Kendati, meski keras mengkritisi praktik setoran ilegal, Nasruddin juga mengingatkan Pemerintah Aceh agar tidak gegabah menutup seluruh tambang ilegal. Menurutnya, ribuan masyarakat menggantungkan penghasilan dari sektor tersebut.
“Kalau semua tambang ilegal langsung ditutup, yang terdampak pertama adalah masyarakat kecil. Pemerintah harus cerdas menyikapi masalah ini,” ucapnya.
Nas menyarankan agar pemerintah segera melakukan pendataan dan mengubah status tambang ilegal menjadi tambang rakyat resmi. Dengan legalisasi, pemerintah bisa menarik pajak dan retribusi sah. “Kalau tambang rakyat sudah berizin, hasilnya akan masuk ke kas daerah, bukan ke kantong oknum,” tegas Nasruddin.
Jika Kapolda Aceh Irjen Pol Marzuki Ali Basyah segera memberikan penjelasan terbuka, maka spekulasi liar bisa ditepis. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum akan semakin tergerus.
“Kapolda harus menjelaskan dengan jujur, transparan, dan detail. Jangan hanya diam. Masyarakat butuh kejelasan,” desak Nasruddin.
Mencuatnya dugaan suap tambang ilegal bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan besar yang berimplikasi luas. Secara sosial, masyarakat merasa aparat tak lagi berpihak pada penegakan hukum. Sementara secara politik, reputasi pemerintah daerah ikut tercoreng.
DPRA sendiri menyatakan akan terus mendorong penindakan tegas terhadap tambang ilegal. Pansus juga berencana membawa temuan ini ke aparat pusat jika tidak ada respons memadai dari pihak kepolisian daerah.
Jika benar ada Rp360 miliar mengalir ke oknum aparat, maka negara kehilangan potensi pajak dalam jumlah besar. Dengan kalkulasi sederhana, dana sebesar itu bisa membangun lebih dari 300 sekolah dasar baru, atau memperbaiki ratusan kilometer jalan rusak di Aceh.
Bilahkah [Solusi] yang ditawarkan Nasruddin patut dipertimbangkan. Dengan mendata ulang dan memberikan izin resmi tambang rakyat, pemerintah bisa menghentikan praktik setoran liar.
Namun legalisasi saja tidak cukup. Dibutuhkan pengawasan ketat, sistem transparansi digital, serta keterlibatan masyarakat sipil untuk memastikan pajak benar-benar masuk ke kas negara.
Selain itu, diperlukan komitmen kuat dari aparat penegak hukum. Jika terbukti ada oknum aparat menerima setoran, harus ada tindakan tegas berupa proses hukum tanpa pandang bulu.
Kini banyak pihak mewanti terkait dengan dugaan suap tambang ilegal senilai Rp360 miliar per tahun di Aceh, pasalnya isu ini mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap Institusi. Tatkala ironi, adanya Pansus DPRA menyebut dana itu mengalir ke oknum aparat, sementara aktivis TTI menuntut Kapolda Aceh segera buka suara.
Meski demikian, Legalisasi tambang rakyat dinilai sebagai solusi jangka panjang, namun klarifikasi cepat dari aparat tetap menjadi tuntutan utama. Publik kini menunggu jawaban Kapolda, apakah tudingan itu benar adanya atau sekadar isu politik. ***