Yurisprudensi MA Tegaskan Batas Kewenangan Praperadilan atas Penahanan Lintas Negara dan Red Notice Interpol

Kamis, 5 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi gambar (PA).

Ilustrasi gambar (PA).

PUTUSAN Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1156 K/PID/2000 dalam perkara praperadilan antara Hendra Rahardja melawan Kepolisian Negara Republik Indonesia membuka kembali diskursus, mengenai batas kewenangan praperadilan atas tindakan penangkapan dan penahanan lintas yurisdiksi serta penggunaan Interpol Red Notice. Putusan ini menjadi yurisprudensi bernilai strategis, khususnya dalam konteks penegakan hukum pidana internasional dan hubungan ekstradisi antarnegara.

Perkara ini bermula dari laporan tindak pidana perbankan oleh anggota Polri pada 3 Juli 1998 yang melibatkan Hendra Rahardja, Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa. Kepolisian RI kemudian menerbitkan Surat Perintah Penangkapan dan berkoordinasi dengan Interpol guna meminta bantuan penangkapan dari Kepolisian Federal Australia, di mana Hendra ditahan sebagai subjek permintaan ekstradisi.

Hendra Rahardja melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jakarta Selatan, dengan dalil penangkapannya tidak sah karena dilakukan oleh pihak asing dan berdasarkan dokumen-dokumen yang dianggap cacat hukum, termasuk Interpol Red Notice dan Affidavit dari otoritas Australia. PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut melalui Putusan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jak.Sel, menyatakan penahanan tidak sah dan memerintahkan pembebasan serta ganti rugi Rp1 juta.

Namun, Kepolisian RI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Meski secara prinsip hukum formil kasasi atas putusan praperadilan tidak lazim, MA menerima permohonan kasasi ini berdasarkan interpretasi sistematik terhadap Pasal 83, 88, dan 244 KUHAP. Mahkamah menyatakan bahwa keadilan dan kepastian hukum dalam perkara bernuansa internasional memerlukan fleksibilitas prosedural.

Dalam amar putusannya tertanggal 11 Oktober 2000, Mahkamah menyatakan bahwa:

  1. Surat Perintah Penangkapan oleh Polri sah secara hukum karena sesuai dengan prosedur KUHAP;
  2. Praperadilan tidak memiliki kewenangan menguji sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum asing;
  3. Interpol Red Notice dan Affidavit dari otoritas Australia berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia sehingga tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan praperadilan;
  4. Penyerahan tembusan surat penangkapan belum wajib dilakukan karena eksekusi penangkapan oleh pihak Indonesia belum terlaksana.
BACA JUGA :  Sat Samapta Polres Aceh Selatan Gelar Patroli Dialogis di Pusat Keramaian Cegah Kriminalitas dan Premanisme

Putusan MA tersebut membatalkan putusan praperadilan PN Jakarta Selatan dan menyatakan permohonan Hendra Rahardja ditolak seluruhnya. MA menegaskan bahwa praperadilan hanya berwenang memeriksa tindakan penangkapan dan penahanan oleh penyidik Indonesia, bukan otoritas negara lain dalam konteks kerja sama ekstradisi.

Putusan ini mempertegas bahwa dalam penegakan hukum lintas negara, aparat penegak hukum nasional tidak dapat dituntut atas tindakan yang dijalankan oleh otoritas asing dalam kerangka hukum internasional. Hal ini penting sebagai landasan bagi para penegak hukum dalam memahami batas dan tanggung jawab hukum dalam kerja sama internasional, terutama yang menyangkut Interpol dan ekstradisi.

BACA JUGA :  Polres Aceh Selatan Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Berkala untuk Tingkatkan Kesehatan Personel

Dari putusan ini pula, dua kaidah hukum penting dapat dicatat:

  1. Ketentuan mengenai tembusan surat penangkapan kepada keluarga hanya berlaku jika penangkapan dilakukan oleh penyidik dalam negeri;
  2. Kewenangan praperadilan tidak meliputi tindakan penangkapan atau penahanan oleh negara asing, meski berdasarkan permintaan dari Indonesia.

Yurisprudensi ini menjadi rujukan penting bagi hakim, akademisi, dan praktisi hukum dalam menakar posisi hukum nasional vis-à-vis instrumen hukum internasional.

Mahkamah Agung sebagai pengawal keadilan dan penegak supremasi hukum, kembali menunjukkan perannya dalam menjaga sinkronisasi antara hukum nasional dan perjanjian internasional, khususnya dalam konteks ekstradisi dan penerapan prinsip due process of law lintas batas negara.

Penulis : Nadia Yurisa Adila

Editor : FORSIMEMA RI, Supriadi Buraerah

Follow WhatsApp Channel insertrakyat.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Intip Rutinitas Sat Polair Polres Sinjai di Pelabuhan Cappa Ujung
Anggota DPRA Hadi Surya: Patut Diduga Batas Daratan Bergeser, Maka Pulau Terlepas
Warga Desa Barambang Keluhkan Kondisi Jalan Licin
Karyawan PDAM Bulukumba Mengeluh Gaji Tak Dibayar Selama Tiga Tahun
Longsor Akibat Hujan Deras Timbun Jalan di Desa Pattongko, Akses Sinjai–Bulukumba Terganggu
Pohon Mangga Timpa Rumah Warga di Abdya
Polres Aceh Selatan Turun Langsung Evakuasi Pohon Tumbang dan Atur Lalu Lintas di Kecamatan Sawang
Kejati Papua Barat Bongkar Dugaan Korupsi APBD Kabupaten Sorong

Berita Terkait

Minggu, 8 Juni 2025 - 23:40 WITA

Intip Rutinitas Sat Polair Polres Sinjai di Pelabuhan Cappa Ujung

Minggu, 8 Juni 2025 - 23:19 WITA

Anggota DPRA Hadi Surya: Patut Diduga Batas Daratan Bergeser, Maka Pulau Terlepas

Minggu, 8 Juni 2025 - 22:02 WITA

Warga Desa Barambang Keluhkan Kondisi Jalan Licin

Minggu, 8 Juni 2025 - 20:14 WITA

Karyawan PDAM Bulukumba Mengeluh Gaji Tak Dibayar Selama Tiga Tahun

Minggu, 8 Juni 2025 - 19:27 WITA

Longsor Akibat Hujan Deras Timbun Jalan di Desa Pattongko, Akses Sinjai–Bulukumba Terganggu

Berita Terbaru

Warga Desa Barambang mengeluh kondisi jalan rusak dan licin. Foto Jalan di Desa Barambang. (Ist )

Daerah

Warga Desa Barambang Keluhkan Kondisi Jalan Licin

Minggu, 8 Jun 2025 - 22:02 WITA